Masih di hari yang lain di musim dingin. Seorang pemuda terbangun
dari tidurnya yang nyenyak. Pemuda itu beranjak ke arah jendela
kamarnya. Di luar sana , dapat dilihatnya butiran butiran putih yang
berjatuhan dari langit mengotori halaman rumahnya.
“Salju…” gumam pemuda itu tersenyum
Puas melihat salju , pemuda itu beranjak menuju kamar mandinya
untuk membersihkan diri. Selang tiga puluh menit pemuda itu keluar dari
kamarnya. Tentunya sudah dengan berpakaian rapi.
Pemuda itu melangkahkan kakinya menuju dapur. Ia mengambil sebuah
cangkir putih dan sendok the dari tempatnya. Ia juga mengambil toples
berisi bubuk kopi hitam. Pemuda itu menuangkan bubuk kopi hitam dan juga
air panas ke dalam cangkirnya , kemudian mengaduknya. Secangkir kopi
hitam tanpa gula.
Pemuda itu mengambil beberapa potong roti tawar dan meletakkannya
di atas piring. Kemudian ia melangkah menuju kulkasnya , berniat
mengambil selai stroberi. Saat menutup pintu kulkas , matanya tak
sengaja menangkap sebuah foto yang tertempel di pintu kulkas berwarna
putih tersebut. Di foto itu , ada dua orang pemuda yang tengah tersenyum
dengan tangan mereka yang membentuk tanda ‘hati’.
Pemuda itu tersenyum melihat foto tersebut. Tangannya terulur
menyentuh foto itu. Tepatnya di bagian wajah pemuda lain yang berfoto di
sampingnya. Seorang pemuda berwajah cantik dengan rambut pirang.
“Selamat pagi , Ren” sapa pemuda itu
Pemuda itu tersenyum sekali lagi menatap wajah pemuda cantik pada
foto tersebut. Kemudian ia mengambil sarapannya –roti selai stroberi dan
secangkir kopi- dan membawanya ke teras rumahnya. Memilih menikmati
sarapan di teras dengan melihat butiran butiran salju yang berjatuhan
dari langit.
Pemuda berambut hitam itu meletakkan roti dan kopi yang ia bawa
pada meja kecil di terasnya. Ia mendudukkan dirinya pada kursi yang
terletak di samping meja tadi. Matanya terus mengamati butiran butiran
putih yang terus berjatuhan dari langit.
Pemuda tampan itu mengambil cangkir kopinya dan menyenderkan
tubuhnya pada kursi. Matanya terpejam saat ia meyesap cairan hitam pekat
itu. Menikmati esensi yang berbeda dari cairan hitam pekat yang megalir
di tenggorokannya. Sebuah desah kenikmatan keluar dari bibirnya saat
cairan hitam itu berhasil lolos dari tenggorokannya , kemudian matanya
terbuka secara perlahan.
“Sudah lima tahun lebih. Apa kabarmu hari ini , Ren?” tanyanya
lirih. Matanya terus mengamati salju salju yang terus berjatuhan.
Sementara pikirannya menerawang jauh pada seorang pemuda. Seorang pemuda
yang dulu mengisi hari harinya.
~+~+~+~+~+~+~
Dua orang pemuda yang tengah berkencan , duduk di salah satu meja
yang ada di Café ‘Soul of Coffee’. Salah satu café terbaik yang ada di
Seoul. Café yang menyediakan berbagai macam jenis minuman dan makanan
yang terbuat dari kopi terbaik.
Ini hari Minggu. Hari yang tepat untuk berakhir pekan , dan hari
yang tepat pula untuk berkencan. Itulah yang sekarang sedang dilakukan
oleh kedua orang pemuda itu. Duduk di salah satu meja , menikmati
nikmatnya kopi pilihan sambil mendengarkan lagu lagu romantis.
“Bagimana harimu hari ini chagi? Apa menyenangkan?” Tanya salah
satu pemuda berambut hitam itu memulai obrolan. “Ren?” ulang pemuda itu
lagi memanggil kekasihnya yang duduk di hadapannya.
Masih tak ada jawaban. Pemuda berambut pirang itu masih setia
menatap keluar jendela. Memperhatikan para pejalan kaki yang melintasi
kota Seoul.
“Ren?” kali ini pemuda berambut hitam itu memanggil dengan
mengguncang pelan bahu Ren. Membuat Ren tersentak dan kembali ke alam
sadarnya.
“Nde?” kata Ren menoleh pada pemuda di hadapannya
“Kau melamun? Apa kau baik baik saja?” Tanya pemuda itu khawatir
Ren tersenyum hambar menanggapi pemuda itu. Jemari lentiknya
mengitari permukaan cangkir kopinya. “Minhyun-ah…” panggil Ren lirih
“Hm?” pemuda bernama Minhyun itu mendongak menatap wajah kekasihnya. “Ada apa chagi?” tanya Minhyun lembut
Ren menghembuskan nafasnya. Bagaimana ia bisa mengatakannya pada
pemuda ini? Pemuda itu terlalu baik. Dia terlalu lembut. Ren
menghembuskan nafasnya sekali lagi. Memantapkan hatinya. Bagaimanapun
juga ia harus mengatakan semua ini.
“Aku…aku ingin kita berakhir , Minhyun-ah…” kata Ren akhirnya
Minhyun melebarkan matanya. Menatap tak percaya pada pemuda cantik
yang ada di hadapannya. Berakhir? Apa maksudnya? Apa maksud semua ini?
“Apa maksudmu , Ren?” Tanya Minhyun memastikan. Mungkin saja ia salah dengar.
Ren menatap bersalah pada Minhyun. “Maafkan aku , Minhyun-ah. Tapi…aku betul betul ingin hubungan ini berakhir” kata Ren lirih
Minhyun tersenyum miris. Ternyata ia tidak salah dengar. Ren betul
betul ingin semuanya berakhir. “Alasannya?” Tanya Minhyun selembut
mungkin dan tersenyum manis.
Ren semakin merasa bersalah pada Minhyun. Ia tau kalau senyum yang
sekarang dipasang oleh Minhyun , bukanlah senyum manis yang biasanya.
Senyum ini adalah senyum kekecewaan yang mendalam. Senyum kecewa yang
ditutupinya oleh senyuman manis.
“Aku…aku mempunyai pilihan lain” kata Ren menunduk
“Siapa?”
“Baekho. Kang Baekho” jawab Ren lirih. Ia masih menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap mata Minhyun yang memancarkan luka.
“Apa kau bahagia dengannya?” Tanya Minhyun. Ren mengangguk pelan.
Minhyun tersenyum melihat Ren yang menunduk tidak berani menatapnya.
Minhyun mengangkat dagu pemuda cantik itu dengan tangannya. Memaksa
manik mata milik Ren bertemu langsung dengan mata miliknya. “Kalau
begitu pergilah dengannya” kata Minhyun lembut
Ren mengerjap tak percaya mendengar penuturan Minhyun. Pemuda ini
rela melepasnya? “Apa kau tidak marah padaku? Apa kau rela melepasku?”
Minhyun tersenyum sekali lagi. “Kenapa aku harus marah kalau kau bahagia dengannya? Aku rela melepasmu asalkan kau bahagia”
Ren menatap Minhyun dengan mata berkaca kaca. Sebulir air mata
mengalir di sepanjang pipi putihnya. Ren mendekati Minhyun dan langsung
memeluknya. “Gomawo , Minhyun-ah. Gomawo. Kau yang terbaik , Minhyun-ah.
Hiks….maaf aku mengecewakanmu…”
Minhyun tersenyum membalas pelukan Ren. Tangannya mengusap usap
punggung Ren. Berusaha menenangkan pemuda cantik yang terus menangis
dalam pelukannya. “Ssssttt…jangan menangis”
Ren melepaskan pelukannya. Mengusap air mata yang masih membasahi
kedua pipinya. Ren menatap Minhyun dengan lembut. Tangannya menangkup
kedua pipi Minhyun.
“Kau orang yang baik , Minhyun-ah. Aku yakin kau pasti akan
mendapatkan orang yang jauh lebih baik dariku” kata Ren serius. Minhyun
mengangguk dan tersenyum.
Ren mendekatkan wajahnya pada Minhyun. Menempelkan bibir tipisnya
pada bibir Minhyun. Memberikan sebuah ciuman perpisahan pada Minhyun.
Ciuman singkat yang menyalurkan seluruh perasaannya. Ren melepaskan
ciumannya pada Minhyun. Menatap pemuda tampan itu sekilas. “Aku harus
pergi , Minhyun-ah”
Minhyun mengangguk dan tersenyum. “Pergilah” katanya lembut
“Kau orang yang baik , Minhyun-ah. Terima kasih untuk semuanya.
Maaf telah mengecewakanmu” kata Ren dan berlalu pergi ke luar café.
Meninggalkan Minhyun yang termangu sendiri.
Minhyun menatap datar pada cangkir kopinya. “Sepertinya…kopi hitam tanpa gula akan terasa pahit mulai sekarang”
~+~+~+~+~+~+~
Minhyun menyesap kopi hitamnya sekali lagi. Salju turun semakin lebat. Semakin mengotori halaman rumahnya.
“Sudah lima tahun berlalu , Ren? Apa kabarmu hari ini?” tanyanya
pada angin yang berhembus. Berharap angin itu bisa menyampaikan
pertanyaannya pada sosok yang ia rindukan selama lima tahun ini.
“Ren , kau pernah bertanya padaku , bukan? Bagaimana pagiku saat
sudah tak lagi bersamamu?” gumam Minhyun. “Pagiku sangatlah dingin ,
Ren. Sedingin lantai teras saat salju seperti ini”
Minhyun kembali menyesap kopi hitamnya sekali lagi. “Kau juga
pernah bertanya bagaimana keadaanku tanpamu. Aku buruk , Ren. Aku merasa
sepi. Ternyata kesepian itu pahit. Pahit seperti seduhan bubuk kopi
hitam tanpa gula”
Minhyun menatap datar pada cangkir kopinya. Tak ada lagi cairan
hitam pekat yang sedari tadi ia minum. Yang ada hanyalah gumpalan bubuk
kopi hitam yang tersisa.
“Secangkir kopi hitam untuk menemani jiwaku yang sepi di pagi yang dingin. Bukankah itu cocok untukku , Ren?” kata Minhyun miris
Minhyun berdiri dan beranjak ke halaman rumahnya yang sudah
tertutupi oleh salju. Ia mengulurkan satu tangannya ke udara. Berusaha
menampung salju salju yang terus berjatuhan ke telapak tangannya.
“Salju…sampaikan salamku padanya. Katakan bahwa aku baik baik saja. Katakan bahwa aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya”
Minhyun kembali masuk ke dalam rumah setelah menyampaikan
permohonanya pada salju salju putih yang berjatuhan. Sebelum menutup
pintu rumahnya , Minhyun berbalik. Kembali memandangi salju salju putih.
“Semoga kau bahagia dengannya , Ren”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar